Kamis, 25 Desember 2014

Kebudayaan & Lunturnya Tradisi Suku Dayak



PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan adat istiadat, suku dan bahasa. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Salah satu suku yang terdapat di Indonesia adalah suku Dayak.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur. Suku Dayak merupakan suatu suku yang besar dan mempunyai kelompok suku yang sangat banyak dengan budaya yang beranekaragam, masyarakat suku Dayak hidup dan berkembang di wilayah pedalaman Kalimantan.
Di era globalisasi sekarang ini, dimana rujukan modern mengambil Barat sebagai patokan, kompetisi sebagai dasar hubungan dan kekuasaan sebagai orientasi membawa manusia Dayak semakin terasing dari karakternya. Perubahan kebudayaan berdampak pada perubahan pola hidup dan pola pikir suku Dayak saat ini dan itu berpengaruh pula terhadap keterbukaan dan kebersamaan suku Dayak, pada mulanya mereka belum mengenal sifat yang individualistis sekarang sifat itu mulai ada dalam sikap hidup mereka walaupun tidak sepenuhnya merubah konsep hidup orang Dayak dan itu diakibatkan oleh kemajuan zaman. Kemajuan zaman juga mempengaruhi kebutuhan hidup suku Dayak dan semua itu memang akibat dari pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Meskipun begitu, Konsep hidup suku Dayak keterbukaan dan kebersamaan masih tetap dipegang ditengah modernisasi walaupun dalam perwujudannya yang berbeda. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan zaman merubah pola pikir dan hidup suku Dayak. Budaya ini tetap terselamatkan dan akan tetap bertahan berkat para sesepuh yang masih memegang teguh tradisi mereka di tambah dengan anak –anak muda yang mendapat transfer ilmu dari orang tuanya untuk menjaga kelestarian warisan nenek moyang mereka. Namun, tanpa strategi kebudayaan yang jelas bangsa kita akan cenderung kehilangan identitas atau jatidiri, rasa kebangsaan sebagai bangsa yang beradab dan berbudayapun kian menipis serta adat dan kesatuanpun akan meluntur.


PEMBAHASAN

Adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan. Berikut ini ada beberapa adat istiadat Suku Dayak.
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Proses penguburan Suku Dayak Maanyan
            Proses penguburan disuku Dayak Maanyan ini memang unik dan berbeda. Apabila ada seseorang dari suku Dayak Maanyan yang meninggal maka akan dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda bahwa ada salah satu masyarakat mereka yang meninggal dunia. Setelah gong dibunyikan penduduk suku dayak berdatangan kerumah keluarga yang meninggal dunia sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian keluarga yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian yang meninggal dunia dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan untuk yang meninggal yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) yang meninggal tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan.
Tradisi yang ada di Suku Dayak
·         Tradisi memanjangkan daun telinga
            Tradisi memanjangkan daun telinga oleh suku dayak saat ini memang mulai berkurang dan hampir saja punah, namun didaerah Kalimantan Timur masih ada sebagian suku dayak yang masih memelihara tradisi ini sejak sekarang. Tradisi ini masih dilakukan oleh orang-orang Dayak Kenyah, Bahau, dan Kayan. Dikalangan orang Dayak Kenyah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tradisi daun telinga yang dipanjangkan akan tetapi memiliki panjang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan daun telinganya sampai melebihi bahunya. Sedangkan kaum perempuan boleh memanjangkan hingga sebatas dada. Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masih kecil atau masih kanak-kanak, yaitu sejak usia satu tahun dan kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakaipun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa. Menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga dikalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.
            Sedangkan disebuah desa yang serupa dengan orang Dayak yang hidup dan tinggal dipedalaman, dan ternyata penduduk Desa Long Mekar tidak semua penduduk memiliki tato dan daun telinga yang panjang ternyata ini disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi yang mulai merasuki kehidupan masyarakat suku Dayak. Globalisasi ini kemudian membuat rakyat Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai yang berlaku didunia internasional. Kebiasaan memanjangan daun telinga yang tidak biasa didunia Internasional membuat warga Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya mereka, yang kini sudah tidak sesuai dengan keadaan jaman.
Sebelum masuknya globalisasi dan moderasasi kedalam kehidupan suku Dayak, mereka sangat menghargai nilai-nilai budayanya seperti memanjangkan daun telinga yang dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak globalisasi masuk, muncul beranggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa bahwa mereka itu berbeda dari bangsa atau suku lainnya yang mendapat cap “beradab” lebih dari mereka. Keberbedaan itu lantas menimbulkan keraguan dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang mengatakan bahwa memanjangkan daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang beradab. Penolakan terhadap nilai budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya sedikit warga Dayak terutama dikalangan anak muda yang masih menjalankan tradisi leluhur mereka yaitu memanjangkan daun telinga.

·         Tradisi Membuat Tato
Selain tradisi memanjangkan daun telinga tradisi suku dayak lainnya adalah membuat tato. Wanita dayak yang diatas umur 40 tahun rata-rata memiliki tato disekujur lengan dan kakinya, bagi kaum perempuan keberadaan tato ditubuh mereka menunjukkan bahwa mereka adalah anggota keluarga bangsawan. Motif-motif tato untuk kaum perempuan beragam yaitu, rantai-rantai anjing, motif-motif perang, tanduk-tanduk binatang dibagian lengan dan paha dan motif-motif lingkaran dibetis atau pergelangan kaki.
Sementara bagi kaum laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi negeri orang dan telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh musuh dalam peperangan.
“Makna tato bagi masyarakat suku Dayak” yaitu menurut sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Sementara secara Religi tato memiliki makna yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukan semakin banyaknya “obor” yang akan menerangi perjalanan seseorang menuju alam keabadian. Namun, membuat tato juga tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan karena harus mengikuti aturan adat.
Tato perempuan maupun tato laki-laki, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Sedangkan bahan pembuatan tatonya menggunakan jelaga dari perluk yang berwarna hitam. Inilah yang membuat tato dayak berbeda dengan tato-tato lainnya yang kerap menggunakan berbagai warna untuk alasan keindahan.
Namun sayangnya nilai tato dayak yang begitu luhur, yaitu menggambarkan “obor” yang akan menerangi sebagai jalan untuk menuju alam keabadian. Kini telah bergeser nilainya karena pengaruh Globalisasi. Kini masyarakat suku Dayak terutama kalangan generasi muda beranggapan bahwa tato sebagai simbol kegagahan yang biasa diidentikan sebagai preman. Anggapan inilah yang membuat nilai Tato Dayak bergeser manjadi tato untuk gagah-gagahan dan kekerasan semata, anggapan ini dipengaruhi karena adanya proses Globalisasi.

·         Tradisi NGAYAU (Penggal Kepala)
Suku Dayak dikalimantan ini memiliki tradisi yang ekstrim yaitu, Tradisi Penggal Kepala. Tradisi ini disebut NGAYAU, yaitu memenggal kepala. Tradisi ini dilaukan untuk mempertahankan atau untuk memperluasan suatu wilayah kekuasaan. Mereka akan melakukan perang dan memenggal kepala musuh sebagai bukti jika berhasil mempertahankan kekuasaan. Hanya pria dewasa saja yang kepalanya boleh dipenggal. Wanita dan anak-anak tidak di-kayau melainkan hanya dijadikan budak.

Kepala musuh akan dibawa ke pulang kemudian mereka melakukan upacara adat yang disebut tiwah, untuk menenangkan roh si musuh tadi. Para warga akan memberi sesaji agar roh itu tidak gentayangan dan membalas dendam.

Namun tradisi ini mulai berubah seiring kesadaran untuk hidup damai dan sejahtera. Berdasar Perjanjian Tumbang Anoi tradisi ngayau dihilangkan agar tidak terjadi perselisihan di antara suku Dayak.
“Mahar dengan Kepala Manusia” tradisi ini serupa dengan memenggal kepala manusia tetapi bedanya memberikan kepala sebagai maharnya. Memang tradisi dalam pernikahan setiap daerah berbeda-beda. Pada umumnya saat melamar pihak laki-laki akan memberi barang-barang tradisional, perhiasan, hewan ternak ataupun uang kepada pihak perempuan. Namun, lain halnya dengan tradisi suku Dayak pada zaman dahulu Tradisi Ngayau berlaku sebagai proses persetujuan untuk  menikahi peempuan Dayak dengan memberikan kepala manusia sebagai maharnya. Sebelum lamarannya diterima oleh pihak keluarga perempuan, calon pria diharuskan berburu kepala dari desa lain dan dipenggal. Lalu diberikan kepada pihak perempuan, apabila diterima maka akan diberikan kain tenun yang dibuat sendiri oleh perempuan dayak. Penggalan kepala manusia menandakan keseriusan pria dayak terhadap perempuan dayak yang akan dinikahinya. Lalu kepala manusia yang telah dipenggal disimpan di umah Betang yaitu rumah adat.
Tetapi sekarang sudah tidak dilakukan lagi karena adanya perubahan zaman dan globalisasi  sekarang masyarakat suku dayak sudah tidak medalakukannya dan diganti dengan hewan ternak yang mereka miliki.

  • Gawai Dayak (Perayaan Panen Suku Dayak)

Gawai Dayak merupakan tradisi yang dilakukan oleh suku dayak yang merupakan hari perayaan panen yang sudah diadakan sejak 25 september 1964. Gawai Dayak merupakan hari raya resmi bagi suku dayak.
Gawai Dayak mempunyai beberapa upacara yang dijalankan dikota dan lamin atau rumah panjang. Persembahan berbagai makanan dipersembahkan kepada dewa padi untuk hasil panen yang baik. Penyair akan membaca mantera yang khusus untuk upacara ini dan berlumur darah ayam jantan pada bahan persembahan.
Setelah upacara ini, perayaan Gawai Dayak akan segera dimulai secara resmi. Sebatang pokok yang dikenali sebagai “ranyai” akan disimpan ditengah ruang dan dihiasi dengan makanan dan minuman. Mereka juga akan mengunjungi keluarga dan sahabat yang disebut sebagai “ngabang”. Pakaian tradisional akan dikenakan, dan perhiasan manik orang dulu akan dikeluarkan untuk dipakai pada hari itu.
Sedangkan para perawan suku dayak mengenakan perhiasan perak tradisional. Pesta Gawai Dayak ditutup dan berakhir dengan penurunan pokok ranyai.
Namun, saat ini tradisi Gawai Dayak hampir punah dari peradapan suku dayak karena dianggap bertentangan dengan agama dan adanya proses globalisasi serta modernisasi dizaman sekarang yang mempengaruhi anak-anak muda, maka anak-anak muda suku dayak lebih suka dan menikmati pesta ala eropa dibandingkan mempertahankan tradisi Gawai Dayak ini.



KESIMPULAN
            Seperti yang sudah dijelaskan tentang kebudayaan suku Dayak yang ada dikalimantan dan pengaruh modernisasi atau globalisasi memang sangat berpengaruh terhadap kultur budaya atau tradisi kebudayaan itu sendiri apalagi kebudayaan tradisional, dengan adanya proses peubahan zaman dan globalisasi memang telah melemahkan aspek kebudayaan tradisional, ketika nilai budaya dari suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh nilai lain yang dapat dikatakan melenceng dari nilai aslinya karena proses modernisasi dan globalisasi.
Dengan adanya Globalisasi ini, kita hanyut didalam perubahan global. Kita kehilangan identitas diri kita sendiri dan ditentukan oleh pengaruh luar yang sangat kuat yang dikendalikan oleh modal-modal besar. Kita juga menentang habis-habisan pengaruh perubahan besar yang dibawa oleh globalisasi yang dikendalikan oleh modal-modal besar tetapi kita tidak berdaya untuk melawannya.
Seharusnya masyarakat Indonesia dapat mengelola dan memanfaatkan kekayaan kebudayaannya agar tetap terjaga terus sehingga dapat menyejahterakan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo Eko.2014.Mozaik Budaya.Bandung:PT Alumni


Tidak ada komentar:

Posting Komentar