PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang kaya akan adat istiadat, suku dan bahasa. Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia
atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Salah satu suku yang terdapat di Indonesia
adalah suku Dayak.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup
berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak
itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke
Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak,
sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah
“Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah
berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur. Suku Dayak merupakan suatu suku yang besar dan mempunyai kelompok suku yang
sangat banyak dengan budaya yang beranekaragam, masyarakat suku Dayak hidup dan
berkembang di wilayah pedalaman Kalimantan.
Di era globalisasi
sekarang ini, dimana rujukan modern mengambil Barat sebagai patokan, kompetisi
sebagai dasar hubungan dan kekuasaan sebagai orientasi membawa manusia Dayak
semakin terasing dari karakternya. Perubahan
kebudayaan berdampak pada perubahan pola hidup dan pola pikir suku Dayak saat
ini dan itu berpengaruh pula terhadap keterbukaan dan kebersamaan suku Dayak,
pada mulanya mereka belum mengenal sifat yang individualistis sekarang sifat
itu mulai ada dalam sikap hidup mereka walaupun tidak sepenuhnya merubah konsep
hidup orang Dayak dan itu diakibatkan oleh kemajuan zaman. Kemajuan zaman juga
mempengaruhi kebutuhan hidup suku Dayak dan semua itu memang akibat dari
pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Meskipun begitu, Konsep hidup suku Dayak keterbukaan
dan kebersamaan masih tetap dipegang ditengah modernisasi walaupun dalam
perwujudannya yang berbeda. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan zaman merubah pola
pikir dan hidup suku Dayak. Budaya ini tetap terselamatkan dan akan tetap
bertahan berkat para sesepuh yang masih memegang teguh tradisi mereka di tambah
dengan anak –anak muda yang mendapat transfer ilmu dari orang tuanya untuk
menjaga kelestarian warisan nenek moyang mereka. Namun, tanpa strategi kebudayaan yang
jelas bangsa kita akan cenderung kehilangan identitas atau jatidiri, rasa
kebangsaan sebagai bangsa yang beradab dan berbudayapun kian menipis serta adat
dan kesatuanpun akan meluntur.
PEMBAHASAN
Adat
istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia
supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal
dari pedalaman Kalimantan. Berikut ini ada beberapa adat istiadat Suku Dayak.
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah
merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah
meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam
rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada
acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar
dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual,
tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut
di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak
jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula
orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ).
Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal
mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak
Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan
cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang
sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun
musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah
merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak
merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak
sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok
merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari
penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai
kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu
mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam
dan sebagainya.
Mangkok merah tidak
sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat
untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat
itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai
kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang
yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Proses penguburan Suku Dayak Maanyan
Proses
penguburan disuku Dayak Maanyan ini memang unik dan berbeda. Apabila ada
seseorang dari suku Dayak Maanyan yang meninggal maka akan dibunyikanlah gong
beberapa kali sebagai pertanda bahwa ada salah satu masyarakat mereka yang
meninggal dunia. Setelah gong dibunyikan penduduk suku dayak berdatangan
kerumah keluarga yang meninggal dunia sambil membawa sumbangan berupa
keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang,
kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang
laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon
hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu
dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi
memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti
mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang
dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi
pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban
yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki
dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian keluarga yang meninggal berkumpul
menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku,
ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian yang meninggal dunia dikumpulkan
menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu
dinamakan rapu yang pada waktu penguburan nanti diletakkan di atas permukaan
kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah
malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong
berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe,
damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan keluarga lainnya untuk menghadapi
pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas
menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan untuk yang meninggal
yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas
menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) yang meninggal
tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Jika penuturan wadian
telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan.
Tradisi yang ada di Suku Dayak
·
Tradisi memanjangkan daun telinga
Tradisi memanjangkan daun telinga oleh
suku dayak saat ini memang mulai berkurang dan hampir saja punah, namun
didaerah Kalimantan Timur masih ada sebagian suku dayak yang masih memelihara
tradisi ini sejak sekarang. Tradisi ini masih dilakukan oleh orang-orang Dayak
Kenyah, Bahau, dan Kayan. Dikalangan orang Dayak Kenyah, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki tradisi daun telinga yang dipanjangkan akan tetapi memiliki
panjang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak boleh
memanjangkan daun telinganya sampai melebihi bahunya. Sedangkan kaum perempuan
boleh memanjangkan hingga sebatas dada. Proses penindikan daun telinga ini
sendiri dimulai sejak masih kecil atau masih kanak-kanak, yaitu sejak usia satu
tahun dan kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau
subang perak. Anting atau subang perak yang dipakaipun berbeda-beda, gaya
anting yang berbeda-beda ini menunjukan perbedaan status dan jenis kelamin.
Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh
dipakai oleh orang-orang biasa. Menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun
telinga dikalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai
penanda identitas kemanusiaan mereka.
Sedangkan disebuah desa yang serupa
dengan orang Dayak yang hidup dan tinggal dipedalaman, dan ternyata penduduk
Desa Long Mekar tidak semua penduduk memiliki tato dan daun telinga yang
panjang ternyata ini disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi yang mulai
merasuki kehidupan masyarakat suku Dayak. Globalisasi ini kemudian membuat
rakyat Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai yang berlaku didunia
internasional. Kebiasaan memanjangan daun telinga yang tidak biasa didunia
Internasional membuat warga Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai
haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya mereka, yang kini sudah tidak
sesuai dengan keadaan jaman.
Sebelum masuknya
globalisasi dan moderasasi kedalam kehidupan suku Dayak, mereka sangat
menghargai nilai-nilai budayanya seperti memanjangkan daun telinga yang
dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak
globalisasi masuk, muncul beranggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti
apa yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa bahwa mereka itu
berbeda dari bangsa atau suku lainnya yang mendapat cap “beradab” lebih dari
mereka. Keberbedaan itu lantas menimbulkan keraguan dalam diri mereka, sehingga
pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang mengatakan bahwa memanjangkan
daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang beradab. Penolakan terhadap nilai
budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya sedikit warga Dayak terutama
dikalangan anak muda yang masih menjalankan tradisi leluhur mereka yaitu
memanjangkan daun telinga.
·
Tradisi Membuat Tato
Selain tradisi memanjangkan daun telinga
tradisi suku dayak lainnya adalah membuat tato. Wanita dayak yang diatas umur
40 tahun rata-rata memiliki tato disekujur lengan dan kakinya, bagi kaum
perempuan keberadaan tato ditubuh mereka menunjukkan bahwa mereka adalah
anggota keluarga bangsawan. Motif-motif tato untuk kaum perempuan beragam
yaitu, rantai-rantai anjing, motif-motif perang, tanduk-tanduk binatang
dibagian lengan dan paha dan motif-motif lingkaran dibetis atau pergelangan
kaki.
Sementara bagi kaum
laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi negeri orang dan
telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh musuh dalam
peperangan.
“Makna tato bagi
masyarakat suku Dayak” yaitu menurut sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan
bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta
bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang.
Sementara secara Religi tato memiliki makna yakni sebagai “obor” dalam
perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena itu,
jumlah tato yang semakin banyak menunjukan semakin banyaknya “obor” yang akan
menerangi perjalanan seseorang menuju alam keabadian. Namun, membuat tato juga
tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan karena harus mengikuti
aturan adat.
Tato perempuan maupun
tato laki-laki, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang
panjang dan lambat laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus.
Sedangkan bahan pembuatan tatonya menggunakan jelaga dari perluk yang berwarna
hitam. Inilah yang membuat tato dayak berbeda dengan tato-tato lainnya yang
kerap menggunakan berbagai warna untuk alasan keindahan.
Namun sayangnya nilai
tato dayak yang begitu luhur, yaitu menggambarkan “obor” yang akan menerangi sebagai
jalan untuk menuju alam keabadian. Kini telah bergeser nilainya karena pengaruh
Globalisasi. Kini masyarakat suku Dayak terutama kalangan generasi muda
beranggapan bahwa tato sebagai simbol kegagahan yang biasa diidentikan sebagai
preman. Anggapan inilah yang membuat nilai Tato Dayak bergeser manjadi tato
untuk gagah-gagahan dan kekerasan semata, anggapan ini dipengaruhi karena
adanya proses Globalisasi.
·
Tradisi NGAYAU (Penggal Kepala)
Suku Dayak dikalimantan ini memiliki tradisi yang ekstrim yaitu, Tradisi
Penggal Kepala. Tradisi ini disebut NGAYAU, yaitu memenggal kepala. Tradisi ini
dilaukan untuk mempertahankan atau untuk memperluasan suatu wilayah kekuasaan. Mereka akan melakukan perang dan memenggal kepala musuh sebagai bukti jika
berhasil mempertahankan kekuasaan. Hanya pria dewasa saja yang kepalanya boleh
dipenggal. Wanita dan anak-anak tidak di-kayau melainkan hanya dijadikan budak.
Kepala musuh akan dibawa ke pulang kemudian mereka melakukan upacara adat yang disebut tiwah, untuk menenangkan roh si musuh tadi. Para warga akan memberi sesaji agar roh itu tidak gentayangan dan membalas dendam.
Namun tradisi ini mulai berubah seiring kesadaran untuk hidup damai dan sejahtera. Berdasar Perjanjian Tumbang Anoi tradisi ngayau dihilangkan agar tidak terjadi perselisihan di antara suku Dayak.
Kepala musuh akan dibawa ke pulang kemudian mereka melakukan upacara adat yang disebut tiwah, untuk menenangkan roh si musuh tadi. Para warga akan memberi sesaji agar roh itu tidak gentayangan dan membalas dendam.
Namun tradisi ini mulai berubah seiring kesadaran untuk hidup damai dan sejahtera. Berdasar Perjanjian Tumbang Anoi tradisi ngayau dihilangkan agar tidak terjadi perselisihan di antara suku Dayak.
“Mahar dengan Kepala Manusia” tradisi ini serupa dengan memenggal kepala
manusia tetapi bedanya memberikan kepala sebagai maharnya. Memang tradisi dalam
pernikahan setiap daerah berbeda-beda. Pada umumnya saat melamar pihak
laki-laki akan memberi barang-barang tradisional, perhiasan, hewan ternak
ataupun uang kepada pihak perempuan. Namun, lain halnya dengan tradisi suku
Dayak pada zaman dahulu Tradisi Ngayau berlaku sebagai proses persetujuan
untuk menikahi peempuan Dayak dengan
memberikan kepala manusia sebagai maharnya. Sebelum lamarannya diterima oleh
pihak keluarga perempuan, calon pria diharuskan berburu kepala dari desa lain
dan dipenggal. Lalu diberikan kepada pihak perempuan, apabila diterima maka
akan diberikan kain tenun yang dibuat sendiri oleh perempuan dayak. Penggalan
kepala manusia menandakan keseriusan pria dayak terhadap perempuan dayak yang
akan dinikahinya. Lalu kepala manusia yang telah dipenggal disimpan di umah
Betang yaitu rumah adat.
Tetapi sekarang sudah tidak dilakukan lagi karena adanya perubahan zaman
dan globalisasi sekarang masyarakat suku
dayak sudah tidak medalakukannya dan diganti dengan hewan ternak yang mereka
miliki.
- Gawai Dayak (Perayaan Panen Suku Dayak)
Gawai
Dayak merupakan tradisi yang dilakukan oleh suku dayak yang merupakan hari
perayaan panen yang sudah diadakan sejak 25 september 1964. Gawai Dayak
merupakan hari raya resmi bagi suku dayak.
Gawai Dayak mempunyai beberapa upacara yang dijalankan dikota dan lamin
atau rumah panjang. Persembahan berbagai makanan dipersembahkan kepada dewa
padi untuk hasil panen yang baik. Penyair akan membaca mantera yang khusus
untuk upacara ini dan berlumur darah ayam jantan pada bahan persembahan.
Setelah upacara ini, perayaan Gawai Dayak akan segera dimulai secara
resmi. Sebatang pokok yang dikenali sebagai “ranyai” akan disimpan ditengah
ruang dan dihiasi dengan makanan dan minuman. Mereka juga akan mengunjungi
keluarga dan sahabat yang disebut sebagai “ngabang”. Pakaian tradisional akan
dikenakan, dan perhiasan manik orang dulu akan dikeluarkan untuk dipakai pada
hari itu.
Sedangkan para perawan suku dayak mengenakan perhiasan perak
tradisional. Pesta Gawai Dayak ditutup dan berakhir dengan penurunan pokok
ranyai.
Namun, saat ini tradisi Gawai Dayak hampir punah dari peradapan suku
dayak karena dianggap bertentangan dengan agama dan adanya proses globalisasi
serta modernisasi dizaman sekarang yang mempengaruhi anak-anak muda, maka
anak-anak muda suku dayak lebih suka dan menikmati pesta ala eropa dibandingkan
mempertahankan tradisi Gawai Dayak ini.
KESIMPULAN
Seperti yang sudah
dijelaskan tentang kebudayaan suku Dayak yang ada dikalimantan dan pengaruh
modernisasi atau globalisasi memang sangat berpengaruh terhadap kultur budaya
atau tradisi kebudayaan itu sendiri apalagi kebudayaan tradisional, dengan
adanya proses peubahan zaman dan globalisasi memang telah melemahkan aspek
kebudayaan tradisional, ketika nilai budaya dari suatu kebudayaan hilang dan
tergantikan oleh nilai lain yang dapat dikatakan melenceng dari nilai aslinya
karena proses modernisasi dan globalisasi.
Dengan adanya Globalisasi ini, kita hanyut didalam perubahan global. Kita
kehilangan identitas diri kita sendiri dan ditentukan oleh pengaruh luar yang
sangat kuat yang dikendalikan oleh modal-modal besar. Kita juga menentang
habis-habisan pengaruh perubahan besar yang dibawa oleh globalisasi yang
dikendalikan oleh modal-modal besar tetapi kita tidak berdaya untuk melawannya.
Seharusnya masyarakat Indonesia dapat mengelola dan memanfaatkan kekayaan
kebudayaannya agar tetap terjaga terus sehingga dapat menyejahterakan hidup
masyarakat dan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo Eko.2014.Mozaik Budaya.Bandung:PT
Alumni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar